SEMOGA SENYUMMU TAK MENJADI GELISAH
Senyum adalah ekspresi wajah
yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau ke
dua ujungnya, atau pula disekitar mata. Senyum itu datang dari rasa kebahagiaan
atau kesengajaan karena adanya sesuatu yang membuat ia tersenyum.
Senyum kita adalah semangat dan berkah untuk
mereka.
Seperti inilah setiap pagi.
Selalu ada senyum terindah yang sudah menanti di pinggir gerbang SMP IT AL
HIKMAH BENCE. Yah mungkin pemandangan ini sudah menjadi hal biasa dan klise
untuk dijadikan peristiwa yang istimewa bagi ia yang sudah sering lewat dan
melihatnya, seperti halnya diriku. Tapi beda halnya dengan dia sang guru yang
menyediakan dan memberikan senyuman penebar semangat dan berkah menyambut hari itu
untuk siswa dan siswinya tercinta.
Bayangkan saja, sang guru
pemberi senyum itu harus bangun lebih awal dari biasanya, membangunkaan
keluarganya, menyiapkan sarapan sehat dengan cepat, serta bersiap segera untuk
berangkat ke SMP IT AL HIKMAH lebih awal untuk memastikan semua semua siswa dan
siswinya mendapat senyum darinya.
Kebiasaan di atas memang
sudah menjadi ciri khas yang ada di SMP IT AL HIKMAH kami, Kami menyebutnya 5
s:
1. Salam
2. Senyum
3. Sapa
4. Sopan
5. Santun
Itu semua baru satu perjuangan guru untuk
memberikan senyum kepada siswa-siswinya. Lalu bagaimana dengan perjuangan seorang
guru hingga bisa memberikan ilmunya. Pastilah harus menyiapkan berjuta-juta usaha,
doa keikhlasan dan kesabaran untuknya. Itulah mengapa guru menjadi sang pejuang mulia tanpa balas jasa.
Saat itu ketika genap 2
setengah tahun amanah itu akhirnya dapat terlepas dari fikiran dan hatiku, hari
dimana yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Jika aku ingat-ingat, mendapat
amanah menjadi wali kelas saat itu seperti tahu bulat yang di goreng dadakan.
Yah bagaimana tidak, karna saat itu aku baru saja bergabung di sekolah ini,
anggap saja saat itu masih saat dimana aku meraba keadaan dan suasana yang ada
di sekolah. Saat itu aku berusaha menolak karena bagiku amanah itu terlalu
berat untukku, tapi alasan apapun yang aku
sampaikan untuk menolak tawaran itu tetap tak bisa diterima.
Benar apa yang aku fikirkan
mendapat amanah menjadi wali kelas ini tak mudah. Rasanya semakin hari aku
merasa tak sanggup mendampingi mereka, tiap kali aku bertemu dengan guru lain
pasti adalah saja yang mereka sampaikan padaku, mulai dari mereka yang tidak
menghargai adanya guru di kelas, mereka yang kabur tidak mengikuti pelajaran,
mereka yang dengan santainya makan saat guru menerangkan. kelas yang diamanahkan
padaku memang salah satu kelas yang siswanya beragam dan luar biasa. “hargailah
guru kalian, karna disanalah letak keberkahan ilmu yang kalian miliki” itullah
kata yang sering aku ulang pada mereka.
Disanalah aku bertemu dengan
seorang siswa. Dia bukan siswa biasa, karena ia adalah tergolong siswa yang
luar biasa karna prestasinya yang unggul dari teman-teman satu angkatannya. Dia
pintar, rajin, aktiv mengikuti setiap kegiatan,
bersungguh-sungguh serta selalu bersemangat.
Tapi semuanya berubah ketika
ia berada di kelas akhir. Prestasinya menurun. Dia menjadi malas dan tak
bersemangat seperti dulu. Terkadang aku mendapatinya tengah mengikuti
majelis-majelis ngibah bersama teman-temannya, terkadang ia ikut berleha-leha
tidur di kelas dengan berbantal buku latihan soal UNBK. Penasaran apa yang
tengah terjadi padanya, sore itu aku mendekatinya, berbagai tanya aku ajukan
padanya, Jawaban darinya hanya satu “saya juga
bingung dengan diri saya saat ini”. Setelah sekian lama mengobrol dengannya,
ternyata aku baru tau bahwa bernyata apa yang semua ia lakukan dan prestasi
yang ia miliki adalah tuntutan besar dari orang tuanya. Ya memang kerap sekali
masih kita jumpai orang tua yang versi pemikirannya seperti ini, menuntut
anaknya menjadi seperti apa yang ia inginkan. Meski sebenarnya tak ada salahnya
orang tua bersikap seperti itu, karna alasan terbesar mereka adalah untuk
kebaikkan putra dan putrinya tercinta. Sejatinya letak semua pesoalan tersebut
hanya pada komunikasi saja. Sang anak tertekan dengan keinginan sang orang tua,
orang tua tidak merasa anak terbebani karena sang anak tak berbicara atau
menyampaikan apa yang sebenarnya ia inginkan karena ia terlalu takut dan tak
enak hati jika keinginannya bertentangan dengan kemauan sang orang tua.
Alhasil ternyata sang anak kini sudah masuk di salah satu SMA
yang ia inginkan dan bisa masuk di kelas ekselerasi. Alhamdulillah dia juga
masih meneruskan hafallannya di sebuah rumah quran di desa dekat ia bersekolah
saat ini.
Dua bulan yang lalu ia
datang ke sekolah untuk cap tiga jari ijazah bersama teman-temannya. Kutemui
mereka di depan teras kantor. Senyum canda tawa saling melepas rindupun mengisi
perkumpulan kami, tak jarang pula adik-adik kelas mereka dulu menyapa dan
menanyakan berbagai kabar dan pengalaman mereka menapakkan kaki di SMA. Namun
ada satu hal yang membuatku terheran. Ia sang anak juara itu berdiam diri, kuliat
wajjahnya seperti membendung tangis, bukan seperti teman-teman yang lainnya
yang saling menebar senyum, canda dan tawa pelepas rindu. Kupanggil namanya, kemudian
dia mengajakku duduk di atas lantai. Ku
tanya mengapa padanya, tapi ia masih terdiam, kuamati wajahnya kulihat berlahan
ada air mata yg mulai turun mengalir di
pipinya. Mungkin dia sudah tak sanggup menahannya. Karna sedari tadi aku
melihat hidung dan wajahnya juga sudah memerah. Tak kusanngka jawaban dia
membuatku sejenak terdiam. Ia mengatakan, mengapa jarang sekali ada ustadz dan
ustdzah yang tersenyum dan menyapa kami?, mengapa mereka berwajah masam pada kami?,
apakah kedatangan kami tak begitu diharapkan oleh mereka?, apakah ustadz dan
ustadah masih marah dengan kita?, apakah ustadz dan ustdahz masih belum bisa
memaafkan tingkah laku kita yg membuat mereka jengkel dan sakit hati?, “saya
takut jika ilmu yang kami menjadi tak barokah dan bermanfaat”. Tangisnya pun pecah sambil memeluk
aku.
Sejenak aku terdiam bingung
harus mengatakan apa padanya. Berlahan ku berikan pengertian padanya, “mungkin ustadz
dan ustdz sedang sibuk dengan tugas-tugas penting yang harus mereka selesaikan”.
Dia hanya mengangguk Sambil menyeka air
matanya. “Kita tak perlu disambut tapi ustadz dan ustdzah memberikan senyum
seperti dulu saya sudah mendajadi kebahagiaan dan ridho untuk kami”. Begitu
kata terakhir yang aku ingat saat itu.
Baru kusadari ternyata
senyum itu begitu berharga maknanya untuk seorang murid, ternyata senyum bukan
sekedar hiasan wajah untuk menggambarkkan kebahagiaan saja, ternyata senyum
memiliki banyak arti sebuah penghargaan besar pada sang penerima dan
penikmatnya.
Tersebab pentingganya senyum dan tak bermuka masam, hingga
allah pun mampu menegur sang kekasih tercintanya Nabi Muhammad. Ya kala itu
saat sang Nabi Muhammad tercinta bermuka masam dengan si buta mulia Ummi Maktum.
Dalam sebuah majelis diskusi Islam dengan para pembesar kaum Qurais yang mana
saat itu besar harapan Nabi Muhammad kaum Qurais menerima adanya agama islam.
Ummi Maktum tercinta itu datang dan
meminta Nabi Muhammad membacakan dan mengajari satu ayat dalam Al Quran yang
telah Allah ajarkan pada beliau. Nabi Muhammad tidak memperdulikan permintaan
Ummi Maktum, acuh tak acuh kemudian membelakanginya. Setelah itu beliau melanjutkan
pembicaraan dengan para pemuka kaum Qurais, Nabi Muhammad berharap dengan
berislamnya mereka, Islam akan semakin kuat dan jalan dakwahnya menjadi lancar.
Namun setelah selesai berdiskusi dengan pemuka kaum kafir Qurais tiba-tiba Nabi
Muhammmad ditegur oleh Allah dengan firmannya dalam Al Quran surah Abasa ayat
satu 1-12 yang artinya:
1. Dia Muhammad bermuka masam
2. Karena telah datang seorang buta kepadanya
3. Tahukah kamu barangkali iaingin membersihkan dirinya
(dari dosa)
4. Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran
itu memberi manfaat kepadanya.
5. Adapun yang merasa dirinta serba cukup
6. Maka kamu melayaninya
7. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak
membersi diri (beriman)
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera
(untuk mendapatkan pengajaran),
9. Sedang ia takut kepada (Allah)
10. Maka kamu mengabaikannya
11. Sekali-kali jangan demikian!. Sesungguhnya
ajaran-ajaran Tuhan itu adalah peringatan.
12. Maka barang siapa menghendaki, tentulah ia
memperhatikannya.
Sejak di turunkannya surah itu Nabi Muhammad
selalu memuliakan Ummi Maktum.
Apa jadinya jika Nabi Muhammad kala
itu tersenyum pada Ummi Maktum dan berkata untuk menunggunya sebentar lagi.
Mungkin surat teguran cinta itu takkan
ada untuk Nabi Muhammad dan kita sebagai makhluk yang penuh dengan ketidak sempurnaan
ini, tak kan bisa belajar dan mengambil hikmah dari kisah tersebut. Terlepas
dari apa yang Allah tegurkan pada Nabi Muhammad adalah tak lain pasti adalah bentuk
kecintaan besar pada sang kekasihnya.
Untuk kita para sang guru, semoga senyum kita
selalu ada dan tak menjadi gelisah untuk mereka para penanti dan penikmatnya.
Penulis: Ustdh Fiki Azmi Azizah